Buru Babi, proyek fotografi jangka panjang yang dikerjakan oleh Yoppy Pieter mengusung gagasan yang terdengar begitu nyaring. “Buru babi telah bertransformasi jadi medium politik identitas bagi pria untuk menegaskan maskulinitas mereka,” begitu tesis yang lahir dari proyek foto ini.
Buru babi dalam foto cerita ini bukanlah buru babi umum yang terserak di banyak wilayah di Indonesia. Begitu juga pria yang dimaksud juga bukan kelompok pria secara konvensional. Pria yang ditunjuk adalah lelaki Minangkabau di Sumatera Barat yang, kata Yoppy, berada dalam dominasi matrilineal, sehingga mereka harus berburu demi menegaskan ke-maskulnitas-an mereka.
Politik identitas-Sebuah Gagasan
Sebelum memulai, kiranya kita harus bersepakat bahwa fotografi, batapa beragam variannya merupakan karya intelektual. Dalam kerja proyek fotografi dokumenter jangka panjang, sebuah karya foto lahir dari gagasan yang telah lulus uji. Serangkaian kerja non-fotografis juga dilakukan hanya untuk menguji kekuatan sebuah gagasan dan relasinya dengan visual yang bakal dihasilkan. Gagasan inilah yang akan menjadi DNA seorang fotografer dalam karyanya.
Saya mencatat foto cerita buru babi ini telah tiga kali dipublikasikan. Pertama di Jawa Pos bertanggal 16 Juni 2019 lima buah foto, Majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli-September 2019 satu foto, dan terakhir di situs Arkaproject.com sebanyak sepuluh foto. Secara total ada 15 foto berbeda yang telah diterbitkan disertai teks. Pada publikasi di Arkaproject teks yang mengiringi foto ditulis dalam Bahasa Inggris, tentu dengan tujuan sebaran yang lebih global.
Gagasan buru babi sebagai politik identitas, selalu dicantumkan pada semua teks yang mendampingi visualnya. Tanpa teks itu, visual buru babi ini akan kehilangan nilai dan kekuatannya. Dalam naratifnya, Yoppy memberi citra, gagasan politik identitas yang menjadi denyut dalam foto buru babi tersebut merupakan produk intelektualnya. Benarkah demikian?
Saya mengetik tiga kata di kolom pencarian Google, buru, babi, dan jurnal. Sebuah tautan berjudul Buru Babi: Politik Identitas Laki-Laki Minangkabau mencuat di urutan teratas. Jurnal bertanggal 1 Februari 2012 itu ditulis oleh seorang dosen antropologi dari Fakultas ISIP Universitas Andalas bernama Zainal Arifin. Dalam tulisan sepanjang delapan halaman itu, Zainal mendedahkan pikirannya perihal buru babi yang dirancang sebagai bentuk negosiasi laki-laki di tengah dominasi matrilineal di Minangkabau.
Beberapa bahasan pokok yang dijabarkan Zainal dalam jurnal ini juga saya temukan pada teks-teks yang ditulis Yoppy, secara khusus tentang buru babi sebagai politik identitas. Terlepas dari benar dan salahnya, kuat atau lemahnya argumen, penjabaran Zainal tentang hubungan buru babi dengan adat, matrilineal, dan islam juga menjadi poin-poin kunci dalam narasi yang dibuat Yoppy.
Kesamaan pemikiran dalam dunia intelektual memang suatu kebetulan yang biasa terjadi. Toh tidak ada yang orisinal di muka bumi ini, bukan? Tapi di sini kita boleh dan patut bercuriga, karena pikiran yang sama itu disampaikan dalam kerangka berpikir, logika dan kalimat yang sama pula. Di sini terlihat jelas jika jurnal yang ditulis Zainal telah menjadi sumber utama dan satu-satunya dalam penciptaan gagasan untuk proyek foto buru babi. Kondisi yang menunjukkan degradasi berpikir yang terjadi saat edukasi fotografi kritis tengah bergeliat menemukan arusnya.
Tidak ada yang salah dari salin-menyalin, menyadur, mengadaptasi, atau menginterpretasi ulang buah pikiran orang lain selama itu dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Tiga kali foto cerita buru babi dipublis, tak semiang pun Zainal Arifin disinggung sebagai rujukan. Di sinilah keran intelektual itu pertama kali ditutup. Seperti mengambil milik orang lain tanpa permisi, di pasar tentu akan diteriaki maling. Dalam dunia intelektual, plagiat adalah perbuatan haram yang dosanya tak tertebus. Saya tidak tahu, apakah bahasa lain untuk perilaku seperti ini di dunia fotografi?
Lelaki Minangkabau
Wisran Hadi dalam Anak Dipangku Kemenakan di BIM mengelompokkan lelaki Minang menjadi beberapa sub kategori yang akan melewati sejumlah fase dalam hidupnya. Lelaki Minang setidaknya menempuh dua institusi, surau dan lapau sebelum menjadi lelaki sejati. Surau sebagai institusi resmi dalam kultur Minangkabau, di mana para pria akan menerima semua pelajaran yang diperlukan untuk menjadi Minang Sempurna.
Di sana mereka belajar agama, cara membunuh, hingga cara memperlakukan parempuan bakal istrinya. Yang menjadi mentor adalah Minang Tua yang telah melewati perjalanan hidup yang sarat pengalaman. Ini menjadi siklus yang terus berputar hingga hari ini, meski mengalami perubahan dan pergeseran.
Semua bekal yang diterima di surau, akan diuji di lapau. Lapau adalah gelanggang pembuktian otak dan juga otot bagi Minang Muda. Di lapau para lelaki dari berbagai sub- tadi bercampur dan bersosialisasi. Mereka mengasah pengetahuan dan kemampuan berdialektikanya. Tempat mengadu otot dan fisik melalui pertarungan dan menjaga kehormatan suku.
Lapau menjadi miniatur kecil di mana para lelaki menjalani simulasi sebelum memulai rantau. Rantau sejatinya menjadi gelanggang pertarungan hidup bagi lelaki Minang. Menaklukkan tanah rantau berarti kemenangan utama. Hanya mereka yang berhasil di rantau yang bisa pulang dengan kepala tegak.
Apa urgensi lelaki Minang menjadikan buru babi sebagai ruang tanpa perempuan agar mereka merasa semakin maskulin? Lalu. Bagaimana kultur Minangkabau mendefenisikan maskulin yang dimaksud Yoppy itu?
Jika 15 foto dalam proyek foto ini ditelusuri, narasi visual yang muncul adalah buru babi sebagai sebuah peristiwa. Peristiwa buru babi itu sendiri, tidak kurang, tidak lebih. Yoppy berhasil menciptakan visual dengan estetika yang kuat tentang buru babi.
Namun dia tidak semata bicara buru babi saja. Dengan karya ini dia menyebarkan diskursus jika lelaki Minang di Sumatera Barat merasa perlu menegaskan maskulinitas mereka dengan berburu babi dan itu dianggap solusi untuk keluar dari dominasi matrilineal.
Muncul lagi pertanyaan baru. Dominasi matrilineal yang bagaimana yang Yoppy maksud? Lalu Bagaimana dengan lelaki Minang yang tidak berada di Sumatera Barat? Apakah meraka tidak perlu menegaskan maskulinitasnya? Bukankah sistem matrilineal bekerja lewat pertalian darah tanpa mengenal teritorial?
Dominasi Matrilineal
“Buru babi telah bertransformasi jadi medium politik identitas bagi pria untuk memperkuat dan menegaskan maskulinitas mereka dalam dominasi matrilineal,” kata Yoppy.
Memaknai matriarkat Minangkabau sebagai oposisi dari sistem patrilineal dengan kadar yang setara adalah pandangan yang keliru. Meletakkan lelaki Minang dalam keadaan tertekan dan menyamakannya dengan nasib perempuan-perempuan Jawa di bawah sistem patrilineal feodal misalnya adalah kesalahan fatal. Hubungan lelaki dan perempuan Minang tidak bisa dilihat secara terpisah. Keduanya berkelindan dalam jaringan-jaringan yang lebih kompleks.
Lelaki memang menjadi tamu di rumah istrinya, namun di rumah sang ibu, dia menjadi tulang punggung sekaligus pemimpin yang menentukan nasib sukunya. Di rumah Bako-nya dia memiliki nilai yang lain lagi. Budaya matrilokal ini pun tidak lantas membuat lelaki Minang berada dalam kondisi tertekan-oppressed.
Jeffrey Hadler, seorang indonesianis yang lama meneliti Minangkabau mengatakan tanpa pengaruh Islam pun, budaya Minangkabau telah mengandung unsur-unsur dominasi laki-laki. Absennya perempuan pada acara buru babi, tidak membuat gelaran itu menjadi ruang bebas dari nilai matriarkat.
Faktanya dalam sistem matriarkat perempuan ditempatkan sebagai bagian kaum yang tidak boleh tercela. Kedatangan islam memperkokoh nilai ini dengan melarang perempuan tampil di depan orang yang bukan muhrimnya. Terlebih anjing memang tidak pernah memiliki posisi khusus dalam narasi kebudayaan Minang, tidak seperti kerbau atau kuda.
Dua hewan terakhir memilki tempat dalam literatur dan kebudayaan Minang. AA Navis, pemikir, budayawan, sastrawan Minangkabau, bahkan tidak memasukkan buru babi ini ke dalam kategori Permainan Anak Nagari dalam Alam Takambang jadi Guru, sebuah buku awal yang penting jika ingin memahami Minangkabau.
Hari ini buru babi barangkali telah menjadi ruang unjuk prestise bagi para pelakunya. Anjing gagah bisa dihargai satu unit mobil SUV. Kalung dan rantainya dibuat bersepuh emas. Namun, bagi masyarakat Minang, semahal apa pun harganya, anjing tetaplah anjing.
Anjing akan ditempatkan di kandang dan makan makanan anjing, dari tempat makan anjing. Anjing tidak akan pernah melewati batas-batas privasi tuannya, masuk ke rumah atau dapur, apalagi sampai ke tempat tidur. Anjing tetap dipandang secara natural dan objektif sebagai anjing.
Upaya menghubung-hubungkan buru babi, maskulinitas Minangkabau, Islam dan fungsinya sebagai jalan keluar dari dominasi matrilineal yang dilakukan Yoppy jelas sebuah omong kosong belaka. Selain tidak memiliki dasar pikiran jelas, kesimpulan yang ditarik Yoppy dari karyanya ini menimbulkan pemahaman yang menyesatkan tentang Minangkabau.
“Kasus Minangkabau selalu mengganggu asumsi universalitik atas kedudukan perempuan di dunia,” tulis Evelyn Blackwood dalam bukunya Web of Power: Women, Kin, and Community in a Sumatran Village.
Di dunia yang berputar dengan patron patrilineal ini, narasi tentang dunia lelaki yang didominasi perempuan tentu bakal menarik perhatian. Kisah purba yang datang dari pelosok dunia ketiga akan selalu memberi daya magis bagi manusia-manusia modern.
Dari kaca mata urban, segala yang berada jauh dari peradaban kota terlihat sebagai yang eskotis. Sebuah praktik yang melanggengkan pandangan orientalis barat, namun dilakukan oleh orang-orang timur itu sendiri. Terlebih membahas persoalan matrilineal, saat isu gender masih menjadi isu dunia hari ini. Bagi saya manipulasi inilah yang dilakukan Yoppy untuk muncul dalam naratif karyanya dan gagal.
Saya meninggalkan sejumlah pertanyaan yang tak mampu saya jawab sendiri tercecer di sepanjang tulisan ini. Yoppy, yang juga mentor foto di ArkademyProject, atau siapa saja yang segendang-sepenarian dengan gagasan fotografi kritis yang selama ini diusungnya berkewajiban untuk menjawabnya. Tentu dengan harapan jawaban itu bakal membuat bahasan dalam tulisan ini menjadi lebih terang.
Jika tidak, barangkali kita semua harus berpikir ulang untuk mencari kembali, apa sesungguhnya fotografi yang kritis itu.
Ramadhani, fotografer bergiat di SoreRabuProject
Catatan:
Foto-foto cerita Buru Babi ini bisa dilihat di majalah DestinAsian edisi Juli-Agustus. Untuk terbitan di Jawa Pos bisa dicari di pressreader.com dengan kata kunci Buru Babi Yoppy Pieter Jawa Pos. Di bawah ini ratutan untuk jurnal Zainal Arifin dan Buru Babi di ArkaProject.com: